Thursday, June 23, 2011

Tafsir Zanjabil - Azab Datang Akibat dari Kezaliman



TAFSIR ZANJABIL 
Surat al-'Araaf 4-10

AZAB DATANG AKIBAT DARI KEZALIMAN
Nara Sumber: Abdurrahman Haqqi
Ditulis oleh: Mohammad Nabil Almunawar

Mari kita teruskan membahas tafsir surat al-'Araaf  dari ayat 4 sampai ayat 10. 

Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk) nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari.[QS 7:4]

Jika mayoritas penduduk suatu negeri menentang dan melecehkan petunjuk Allah yang diturunkan kepada rasulNya, maka negeri tersebut akan dibinasakan Allah. Ummat-ummat terdahulu, seperti ummat Nabi Nuh, ummat Nabi Lut dan ummat Nabi Saleh, negeri-negeri mereka, termasuk penghuninya dimusnahkan Allah SWT. Ayat di atas mengindikasikan bahwa azab datang pada saat manusia lengah, pada malam hari di waktu tidur atau di siang hari saat istirahat. Pada saat azab datang manusia akan terbelalak, tidak siap menghadapinya dan kemudian baru menyadari kesalahan yang selama ini mereka lakukan. Sayang kesadaran itu sudah terlambat.

Maka tidak adalah keluhan mereka di waktu datang kepada mereka siksaan Kami, kecuali mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim".[QS 7:5]

Siksaan atau azab yang datang tiba-tiba tersebut, “menyapu” negeri yang didiami oleh orang-orang zalim pasti membuat para zalimun tersebut terkesima, tak dapat berbuat apa-apa. Dari mulut mereka hanya keluar suara keluhan saja, yakni mengakui dosa-dosa mereka, bahwa memang mereka adalah orang-orang zalim, yang pantas menerima azab tersebut. Dari ayat ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sebab datangnya azab atau bencana adalah akibat perbuatan zalim, khususnya kezaliman yang dilakukan secara berjamaah. Berkaitan dengan ayat ini, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah suatu kaum dibinasakan kecuali mereka mengakui kesalahan diri mereka sendiri.”

Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami), maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).[QS 7:6-7]

Setiap ummat yang diberikan petunjuk melalui rasul bertanggungjawab terhadap amanat Allah yang berupa petunjuk itu. Petunjuk itu berupa peringatan dan pengajaran yang sepatutnya ditaati. Ummat-ummat tersebut akan ditanyai tentang sikap mereka terhadap petunjuk yang sampai kepada mereka. Para rasul yang membawa petunjuk itupun akan ditanyai apakah mereka telah menyampaikan seluruh petunjuk yang diamanatkan kepada mereka. Para rasul adalah pemikul amanat Allah yang tak pernah berkhianat, tetapi Allah akan tetap menanyai mereka, karena Allah Maha Adil.

Allah Maha Melihat. Setiap gerak-gerik yang dilakukan manusia diketahui dan diawasi Allah serta direkam. Rekaman perbuatan itu nanti akan ditayangkan sehingga setiap individu tidak dapat mengelak dari tanggungjawab atas perbuatan mereka di Mahkamah Terakhir. Pada prinsipnya, di Mahkamah Allah di Akhirat kelak setiap individu, tanpa kecuali, akan ditanya tentang amal-amal mereka di dunia seperti yang dijelaskan dalam suatu hadist yang terkenal, yaitu: Kalian semua adalah penggembala, dan kalian semua akan dimintai tentang gembalaannya. Imam akan ditanya mengenai orang-orang yang dipimpinnya, seorang lelaki akan ditanya mengenai keluarganya, seorang wanita akan ditanya mengenai rumah suaminya, dan seorang budak akan ditanya mengenai harta tuannya.”

Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.[QS 7:8-9]
Timbangan atau neraca digunakan untuk mengukur berat sesuatu. Dalam neraca Allah, kebaikan dan keburukan akan diletakkan pada dua “piringan” lalu ditimbang, piringan mana yang lebih berat. Para ulama zaman dahulu mengungkapkan berbagai pendapat tentang bagaimana amal dapat ditimbang, karena amal tersebut tidak bersifat material. Ada tiga pendapat berkaitan dengan penimbangan amal tersebut.

Pendapat pertama mengatakan bahwa amal itu akan diwujudkan sehingga dapat ditimbang. Dasar pendapat ini adalah riwayat Ibn Abbas dalam suatu hadist sahih dikatakan “Bahwa surat al-Baqarah dan Ali Imran kelak di hari kiamat datang se akan-akan seperti dua awan, atau dua naungan, atau dua kumpulan burung-burung yang terbang berbaris.” Pendapat kedua mengatakan amal itu tercatat bak buku laporan (raport). Nilai-nilai dalam raport itu yang menentukan. Pendapat ini juga didukung oleh suatu hadist, yaitu: Maka catatan-catatan itu menjadi ringan dan bitaqah (kartu) itu menjadi berat.” Pendapat ketiga menyatakan bahwa berat badan sesorang di akhirat nanti mencerminkan berat/ringan amalannya di dunia berdasarkan hadist: “Kelak di hari kiamat didatangkan seorang lelaki yang gemuk, tetapi di sisi Allah timbangannya tidaklah seberat sebuah sayap nyamuk kecil pun.”

Ketiga pendapat di atas hanyalah gambaran bahwa amal itu dapat diukur atau dalam bahasa kerennya dapat diaudit. Audit Allah sangat teliti, tidak akan luput sedikitpun dan Allah selalu bertindak Adil. Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. [QS 4:40]

Mereka yang neraca kebaikannya lebih berat dari neraca keburukan, walaupun lebih berat sedikit saja menjadi orang yang beruntung. Sebaliknya mereka yang neraca kebaikannya lebih ringan akan menjadi orang yang merugi. Orang beruntung masuk sorga dan orang merugi harus menebus kesalahannya di neraka.

Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.[QS 7:10]

Manusia diangkat Allah sebagai khalifahNya di muka bumi. Seluruh keperluan manusia di bumi telah disiapkan oleh Allah dan keperluan-keperluan itu pasti terpenuhi jika manusia berusaha mendapatkannya. Nikmat yang diberikan Allah kepada manusia sungguh banyak, tak terhitung sebagaimana termaktub dalam QS 14:34 “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”

Namun, sebagian besar manusia mengabaikan atau bahkan mengingkari ni'mat Allah tersebut. Manusia yang bersyukur sangat sedikit jumlahnya dibandingkan manusia yang kufur. Tetapi ingatlah, syukur seorang manusia bermanfaat untuk dirinya sendiri, dan kufurnya manusia tidak akan mengurangi kekayaan Allah sedikitpun.

Dan Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [QS 14:8]

Wallahu ‘alam bish shawab.

No comments:

Post a Comment