Sunday, October 30, 2011

Beberapa Adab Berdoa



Nara Sumber: Abdurrahman Haqqi
Ditulis oleh: Mohammad Nabil Almunawar


Pembaca Zanjabil rahimakumullah,mari kita lanjutkan membahas tafsir surat al-A’raaf.   Mari kita simak tafsir ayat 54 sampai ayat 56



Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.[al-A'raf (7):54]



Mulai dari ayat 54 topik pembicaraan bergeser dari masalah penghuni sorga, neraka dan ashabul A'raaf ke masalah Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara mahlukNya.



Ayat 54 memberikan informasi bahwa Allah menciptakan seluruh alam semesta ini, yakni langit dan bumi dalam 6 masa. Ulama berselisih mengenai pengertian “ayyam” atau hari (dalam bentuk jamak) dalam ayat ini, apakah “hari” yang dimaksud sama dengan hari yang kita alami di bumi atau tidak sama. Kata “ayyam” pada ayat ini tidak menggunakan “al”, sehingga dapat ditafsirkan secara luas. Menafsirkan kata “ayyam” sebagai masa, periode atau tahapan akan lebih mudah dipahami sehingga tidak terperangkap kepada reduksi makna yang sempit.



Dalam surat al-Fushilat:10-12, 6 masa itu dibagi menjadi 2 bagian yaitu 2 masa digunakan untuk menciptakan 7 langit dan 4 masa digunakan untuk penciptaan kehidupan di bumi. Allah menciptakan langit dan bumi tersebut dari tiada dan dalam menciptakan tersebut Dia bertindak sendiri (tiada sekutu) dengan PengetahuanNya yang tiada batas.



Kemampuan mencipta (dari tiada menjadi ada) hanya milik Allah semata, tiada satu mahlukpun yang dapat meniruNya. Yang dapat dilakukan mahluk hanyalah “meramu” dari zat-zat atau bahan-bahan yang telah diciptakan Allah. Jadi, pada dasarnya mahluk tidak memilki kapasitas untuk menciptakan.


Setelah langit dan bumi tercipta, Allah mengontrol dan memelihara ciptaanNya, yakni “Dia bersemayam di atas Arsy.” Para ulama juga memiliki berbagai pendapat mengenai tafsir “Dia bersemayam di atas Arsy.” Kita tidak dapat membayangkan “Arsy” dengan sesuatu (yang material). Makna sesungguhnya kita tidak tahu, karena keterbatasan pengetahuan kita. Yang jelas setelah mencipta, Allah mengatur, memelihara dan memantau ciptaanNya dan proses mengatur, memelihara dan memantau itu dikaitkan dengan “Arsy” yang sangat agung.



Malam dan siang silih berganti, kejar mengejar mengikuti perintah Allah. Jika malam datang, maka siang pergi. Sebaliknya jika siang datang, maka malam pergi. Malam dan siang adalah sunnatullah yang terkait dengan peredaran bumi dan matahari dan perputaran bumi pada sumbunya.



Kemudian Allah menyebut secara eksplisit matahari, bulan dan bintang-bintang. Matahari, bumi dan bulan berada dalam satu sistem tata-surya. Pada malam hari kita menyaksikan bintang-bintang. Semua benda langit, tunduk kepada Allah dan mengikuti sunatullah yang telah digariskan untuk mereka. Matahari, bulan, bintang dan juga bumi adalah ayat-ayat Allah yang terhampar di alam raya ini. Semua benda-benda ini, yang begitu teratur peredarannya (baca Surat Yasin:37-40), terstruktur rapi dan seimbang. Tentu saja benda-benda langit ini tidak akan muncul tiba-tiba tanpa ada yang menciptakannya dan kemudian mengatur diri mereka sendiri. Bagi manusia yang berakal, benda-benda langit ini adalah tanda-tanda keberadaan dan kebesaran Allah yang Maha Esa, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Mengatur dan Yang Maha Pemelihara.



Selanjutnya Allah mengingatkan kita bahwa menciptakan dan memerintah adalah hak Allah. Ini berarti bahwa tidak ada mahluk yang dapat mencipta dan mahluk tidak dapat mengatur kecuali dengan izinNya. Jika mahluk (dalam hal ini manusia) mengatur tanpa menggubris aturan atau hukum-hukumNya maka mahluk tersebut cepat atau lambat akan celaka. Yang dapat dilakukan manusia adalah mengikuti dan melaksanakan aturan-aturanNya. Manusia dibolehkan mengatur (amanah sebagai khalifah) dalam rangka mengikuti aturan Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.



Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. [al-A'raf (7):55-56]



Setelah Allah menyatakan bahwa Dialah Pencipta alam semesta ini, Dia lalu membimbing manusia cara berdo'a kepadaNya. Ayat 55 dan 56 menyebutkan tiga sikap yang harus dimiliki oleh orang yang berdoa. Pertama, merendahkan diri atau menghinakan diri di hadapan Allah. Allah Maha Besar, Maha Suci dan Maha Mulia. Sebagai mahluk, kita tidak berarti di hadapan Allah dan diri kita ini sangat hina. Kita bersujud, menyentuhkan jidat di lantai atau tanah sebagai simbol ketundukan dan kehinaan di hadapan Allah. Tetapi ingatlah bahwa Allah akan memuliakan hambaNya yang menghinakan diri di hadapanNya.



Kedua, dengan suara lembut. Allah Maha Mendengar dan Maha Halus. Berdoa kepadaNya tidak perlu dengan suara keras. Berdoalah dengan suara lembut yang penuh harap.



Ketiga, berdoa dengan menghadirkan rasa takut dan penuh harap. Rasa takut, yakni takut akan murkaNya atas perbuatan yang melanggar perintahNya atau perbuatan kita yang tidak ikhlas, khawatir dengan perbuatan itu Dia tidak menggubris doa kita. Namun, pada saat yang sama kita berharap penuh agar Allah memaafkan kesalahan kita dan “melupakan” perbuatan yang tidak berkenan bagiNya sehingga Dia mengabulkan doa kita.



Dalam ayat 55-56 Allah mengingatkan kita bahwa Dia tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas. Termasuk melampaui batas dalam berdoa, misalnya berdoa untuk mencelakai orang, berdoa dengan memaksa atau “mengancam”.



Salah satu perbuatan yang melampaui batas yang disebut adalah berbuat kerusakan di muka bumi, yakni segala perbuatan yang menimbulkan ketidakseimbangan, baik ketidakseimbangan lingkungan (merusak lingkungan), ketidakseimbangan sosial (merusak tatatan sosial, melakukan fitnah, perbuatan teror), ketidakseimbangan ekonomi (korupsi, serakah, menindas) dsb.



Allah telah membuat bumi ini tempat yang paling ideal buat manusia, Dia telah menciptakan keseimbangan di alam, termasuk di bumi. Bumi ini telah melalui suatu proses yang panjang sehingga layak dihuni manusia. Jangan sampai manusia merusak keseimbangan yang telah terbina dengan baik. Jika manusia berbuat kerusakan di bumi, maka Allah akan murka. Berbuat kerusakan dapat mengganggu keseimbangan yang dapat mengancam kehidupan di bumi. Proses menuju keseimbangan yang baru seringkali mengakibatkan bencana yang dapat menghancurkan tantanan hidup yang telah ada. Karena kita selalu memerlukan Allah, maka jauhilah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan murkaNya.



Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik dan mencucuri mereka dengan rahmatNya, yang juga dapat berarti doa-doa orang yang berbuat baik akan dikabulkan, yakni dicucuri rahmat. Sesungguhnya rahmat Allah itu sangat dekat. Dia akan mencucukan rahmatNya kepada orang yang disukaiNya. Siapa yang disukai Allah? Yaitu, mereka yang mendekatkan diri kepadaNya, beriman dan beramal sholeh.



Wallahu ‘alam bish shawab.

(Bersambung)

Tuesday, October 25, 2011

SESALAN PENGHUNI NERAKA



Nara Sumber: Abdurrahman Haqqi
Ditulis oleh: Mohammad Nabil Almunawar



Pembaca setia rahimakumullah, mohon maaf karena berbagai kesibukan, posting tafsir Zanjabil tertunda. Mari kita simak kelanjutan tafsir Surat al-'Araaf, yaitu  ayat 49-59 tentang sesalan penghuni neraka..

(Orang-orang di atas A'raaf bertanya kepada penghuni neraka): "Itukah orang-orang yang kamu telah bersumpah bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah?" (Kepada orang mukmin itu dikatakan): "Masuklah ke dalam surga, tidak ada kekhawatiran terhadapmu dan tidak (pula) kamu bersedih hati.[al-A'raf (7):49]

Penghuni tempat yang tinggi (ashabul A'raaf) mengingatkan penghuni neraka (yang mereka kenal) mengenai sesumbar mereka tentang orang-orang beriman, yakni bahwa orang-orang beriman tersebut tidak akan mendapatkan rahmat Allah. Sembari menunjuk kepada ahli sorga yang menikmati rahmat Allah, para penghuni tempat yang tinggi ini mengejek ahli neraka dengan kata-kata yang pernah di pakai ahli neraka di dunia. Di akhirat akan terbukti bahwa yang tidak mendapatkan rahmat Allah ini adalah para penghuni neraka itu. Kata-kata yang mereka ucapkan di dunia menghujam ke diri mereka sendiri. Betapa malangnya!

Sesungguhnya orang-orang yang beriman berada dalam rahmat Allah. Mereka dipersilahkan memasuki sorga. Di sorga mereka mendapatkan kebahagiaan sejati, kedamaian abadi, berbagai macam kenikmatan yang tiada tara, tiada kekhawatiran dan rasa takutpun telah lenyap. Inilah balasan yang dijanjikan Allah buat orang-orang yang beriman kepadaNya dan istiqamah dengan keimanannya.

Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: "Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah dirizkikan Allah kepadamu". Mereka (penghuni surga) menjawab: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.[al-A'raf (7):50]

Penghuni neraka menderita tiada tara. Disamping rasa amat sangat sakit disebabkan dari siksaan yang mereka derita, mereka juga mengalami kehausan dan kelaparan yang tiada tara. Jiwa mereka pasti sangat menderita, kepedihan, kesusahan dan ketakutan yang sangat mencekam setiap saat dan selamanya. Penghuni neraka ini tidak tahan akan penderitaan mereka yang begitu hebat. Penderitaan mereka semakin parah karena mereka dapat menyaksikan kenikmatan yang dialami oleh penghuni sorga. Pendeknya, kondisi mereka sangat memilukan.

Para ahli neraka, dengan nada yang sangat memelas, meminta belas kasihan dari penghuni sorga yang mereka kenal, memohon dibagi minuman atau rizki lain (makanan) yang diberikan Allah kepada ahli sorga. Kedudukan ahli neraka sungguh memelas. Selain sangat menderita, mereka juga sangat terhina. Namun, penderitaan yang sangat berat akan memaksa mereka menghinakan diri lebih lanjut dengan mencoba mengemis kepada Ahli sorga. Celakanya, ahli sorga menolak tegas untuk membagi yang mereka nikmati kepada ahli neraka, karena Allah melarang mereka untuk memberikan apapun kepada ahli neraka. Allah tidak merahmati orang-orang kafir dan mengharamkan rizkiNya untuk mereka di akhirat. Kondisi ahli neraka memang sangat-sangat memelas dan memilukan sekali.

(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.[al-A'raf (7):51]

Inilah dua sifat utama orang kafir yang disebut pada ayat sebelumnya, yaitu mempermainkan agama dan tertipu kepada kehidupan dunia. Sudah menjadi tabiat orang kafir bahwa mereka tidak percaya kepada ajaran agama dan kemudian mempermainkan agama dan mengolok-olok ajaran Allah dan orang-orang beriman ketika mereka menjalankan agama. Orang-orang kafir ini sangat culas terhadap ajaran Allah.

Orang kafir terpukau dan tertipu dengan kehidupan di dunia. Mereka berlomba-lomba dan sangat tamak dengan kehidupan dunia. Mereka mengira bahwa kehidupan hanya ada di dunia ini saja. Mereka tertipu! Akibatnya, mereka melupakan Pencipta dunia (Allah) dan menolak akhirat.

Di akhirat kelak, ketika berada di neraka, orang-orang kafir ini berharap-harap mendapatkan rahmat Allah. Mereka juga berharap Allah mengingat beberapa kebaikan mereka di dunia sehingga dengan kebaikan itu mereka berharap mendapatkan sedikit rizki dari sebagian rizki yang dinikmati ahli sorga. Malangnya, di akhirat Allah melupakan kebaikan yang pernah dilakukan orang-orang kafir itu. Di dunia orang-orang kafir melupakan Allah, mengingkari ayat-ayat Allah yang sesungguhnya memberi petunjuk dan mengingatkan mereka. Di akhirat Allah membalas dengan cara melupakan mereka pada saat mereka sangat berharap Allah mengingat mereka. Oh, betapa sakitnya!

Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Qur'an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.[al-A'raf (7):52]

Ayat ini menjelaskan 'ayat-ayat Kami' yang disebut pada ayat sebelumnya. Ayat-ayat ini terhimpun dalam suatu Kitab Suci, yaitu Al-Qur'an. Segala sesuatu telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an yang menuntun kepada jalan yang lurus menuju rahmat Allah di dunia dan di akhirat. Mereka yang beriman kepada Al-Qur'an dan mengikuti petunjuk-petunjuk serta memperhatikan dengan serius rambu-rambu atau peringatan yang ada di dalamnya akan terbimbing ke jalan yang lurus dan selalu dalam rahmat Allah. Mereka yang mengingkari Al-Qur'an pasti celaka dan terjerumus ke dalam jurang neraka dan berdomisili di dalamnya, mendapatkan segala kesengsaraan sejati.

Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Qur'an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafaat bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?" Sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan. [al-A'raf (7):53]

Orang-orang kafir itu mengingkari ayat-ayat Al-Qur'an dan menantang kebenaran Al-Qur'an dengan sombong. Waktu hidup di dunia ini tidaklah lama dan ketika mereka yang kafir dan sombong itu dihadapkan dengan kebenaran ayat-ayat Al-Qur'an di akhirat nanti mereka baru menyadari kasalahan fatal mereka mengingkari kebenaran selama hidup di dunia. Mereka menyesal. Tetapi sesal kemudian tiada berguna. Walaupun di akhirat mereka mengakui bahwa memang benar ada rasul-rasul Allah yang membawa kebenaran, tapi semua pengakuan itu sia-sia belaka.

Mereka berharap pengakuan mereka ini akan mendapat perhatian Allah dan mengharapkan syafaat (rekomendasi positip) dari rasul-rasul itu (maksudnya rasul yang datang untuk memberikan petunjuk dan mengajari ayat-ayat Allah kepada mereka) agar Allah mengampuni mereka. Mereka juga berharap dikembalikan ke dunia dan mengulangi hidup mereka untuk mengikuti petunjuk rasul itu dan berbuat baik.

Namun, harapan tinggal harapan, waktu tidak dapat mundur. Akhirat telah tiba. Mereka harus mempertanggungjawabkan keingkaran, kedunguan, kesombongan dan segala macam kezaliman yang mereka lakukan di dunia. Tiada syafaat bagi orang kafir, dan tiada ampunan bagi orang musyrik dan zalim. Tindakan bodoh mereka di dunia sesungguhnya merugikan diri mereka sendiri. Di akirat, tuhan-tuhan yang mereka dambakan tidak berkutik. Jangankan tuhan-tuhan itu dapat memberikan pertolongan, menolong diri mereka sendiri saja tidak sanggup.

Kesadaran orang kafir akan tindakan bodoh yang merugikan diri mereka sendiri baru muncul di akhirat. Terlambat sudah. Sesal kemudian memang tiada berguna.

Wahai pembaca Zanjabil rahimakumullah, gunakanlah kesempatan di dunia ini untuk menyiapkan bekal di akhirat. Teguhkanlah iman dan beramallah dengan amal yang baik yang dapat menjadi investasi di akhirat. Jangan sampai tindakan bodoh atau melakukan amal sia-sia di dunia ini yang kelak disesali di akhirat. Diantara amal merugi (sia-sia dan berdosa) yang diingatkan oleh Nabi SAW (hadist yang diriwayatkan oleh Dailami) yaitu: mencari keaiban orang lain, keras hati, berangan-angan kosong dengan keduniaan, berbuat zalim, terlalu cinta dunia dan kehilangan rasa malu.

Wallahu ‘alam bish shawab   
(Bersambung)

Saturday, October 22, 2011

Khataman Al-qur'an dan Pengajian Umum ke 6

Aktifitas jama'ah Pengajian hataman al-quran tanggal 16 0ktober 2011 disebalah kanan sendiri ustadz M.Rohim sedang siap membidik dengan kameranya guna untuk pemberitaan kegiatan hafalan dan pengajian al-quran di koran lokal Lumajang
Jama'ah putri pengajian hataman al-qur'an ke 6 yang sangat antusias dalam mendengarkan ceramah Ustadz Chudzil Hikmat Spdl.Cht. jama'ah di beri motivasi oleh ustadz hikmat tentang belajar menghafal al-quran dengan baik dan semangat yang kuat.

Ustadz Chudzil Hikmad yang sedang begitu semangat memberi motivasi cara mendidik anak yang baik dan taat kepada orang tua lewat proyektor. beliau berusaha menerangkan dengan gambar-gambar yang dimunculkan lewat proyektor. pada dasarnya ustadz chudzil adalah seorang traineer
para jama'ah pengajian hataman al-quran ke 6 sedang merenung mendengarkan doa yang dipinpim oleh ustadz chudzil..mereka menundukkan kepala saat dibacakan doa oleh ustadz chudzil

Bpk.Suyanto yang lagi seksama mendegarkan pengajian hataman al-quran sambil menjaga anak-anak agar tidak gaduh sehingga menimbulkan keramaian.....
Ustadz chudzil berfoto bersama dengan ketua pengajian hataman al-quran sebelah kanan sendiri,dan orang yang dituakan beliau bpk Suradji hambali serta ustadz M.Rohim peliput semua kegiatan Bahrusysyifa.. aktifiatas hafalan dan pengajian al-quran ini dapat terlaksana atas dukungan dan bantuan Para penderma dari Brunei Darussalam, Indonesia malaysia dan Saudara muslim semuanya diseluru dunia
Panitai hataman al-quran sedang beramah tama dengan ustadz Chudzil meskipun sedang mati lampu. Subhanlloh
Ustadz Imron saat berada di Lumajang sebelum pulang ke Brunei berfoto bersama dengan beberapa tim bahrusysyifa di tanah yang ingin di bebaskan oleh ustadz imron dan tim bahrusysyifa guna pembangunan gedung nantinya. mohon bantuan kepada semua penderma untuk bisa membantu membebaskan tanah tersebut. Semoga ALLOH memberi kemudian dalam melakukan hal tersebut amien3X
Ustadz Imron Rosyadi sedang meninjau lahan untuk amal usaha bahrusysyifa beternak kambing , ustadz imron bersama mentor Bpk. H.Dedik sebagai penasihat bisnis dalam amal usaha bahrusysyifa, beliau berdiri di sebelah kanan ustadz imron..sedangkan sebelah kanan adalah staf ahlih pengenbangan ternak kambing bapak abdul salam
Ustadz Imron Rosyadi  bersama tim bahrusysyifa lumajang Mengadakan rapat guna membahas masalah struktur lembaga pendidikan al-quran bahrusysyifa. membentuk susunan lembaga yang sholat guna mewujudkan cita-cita untuk mencetak para penghafal al-quran dimasa depan.
Para tim bahruyssyifa sedang membaca konsep-konsep lembaga dan proposal tentang tujuan bahrusysyifa kedepan yang telah dibuat oleh tim bahrusysyifa yang ada di Brunei Darussalam. para tim bahrusysyifa mempelajari konsep tersebut agar bisa memberi masukan untuk penyempurnaan konsep sebelumnya. rapat ini digelar sebelum ustadz imron balik ke brunei.
Ustadz imron ngobrol kecil di pagi hari bersama Bpk. bustomi sebagai pelaku secara yang ada di lingkungan bahrusysyifa center. beliau memberi masukan kepa ustadz imron tentang menata masyarakat bagusari.
Aktifiatas ustadz Imron saat kerja bakti bersama masyarakat disekitar bahrusysyifa center guna merobohkan kandang ternak dirumah tahfidz bahrusysyifa.
Ustadz Imron sedang beristirahat setelah selesai kerja bakti merobohkan kandang ternak.. ustadz imron akrab banget dengan masyarakat disekitsr bahrusysyifa center.
Ustadz imron rosyadi sedang asyik berbincang-bincang dengan bapak maimun membahas bagaimana membuat konsep bangunan yang baik
Ustadz Imron sedang bertukar fikiran dengan Ustadz abu hasan pimpinan pondok ma'hadz al-quran ibnu kastir Jember.
Ustadz Imron sedang mengisi tausiah di salah satu rumah masyarakat bagusari di wilayah bahrusysyifa center...foto diatas menunjukkan ustadz imron sedang memimpin doa.

Friday, October 21, 2011

berbakti Kepada Orang Tua

Berbicara tentang berbakti kepada orang tua tidak lepas dari permasalahan berbuat baik dan mendurhakainya. Mungkin, sebagian orang merasa lebih ‘tertusuk’ hatinya bila disebut ‘anak durhaka’, ketimbang digelari ‘hamba durhaka’. Bisa jadi, itu karena ‘kedurhakaan’ terhadap Allah, lebih bernuansa abstrak, dan kebanyakannya, hanya diketahui oleh si pelaku dan Allah saja. Lain halnya dengan kedurhakaan terhadap orang tua, yang jelas amat kelihatan, gampang dideteksi, diperiksa dan ditelaah,sehingga lebih mudah mengubah sosok pelakunya di tengah masyarakat, dari status sebagai orang baik menjadi orang jahat.
Pola berpikir seperti itu, jelas tidak benar, karena Allah menegaskan dalam firman-Nya, (yang artinya) :
Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
Penghambaan diri kepada Allah, jelas harus lebih diutamakan. Karena manusia diciptakan memang hanya untuk tujuan itu. Namun, ketika Allah ‘menggandengkan’ antara kewajibanmenghamba kepada-Nya, dengan kewajiban berbakti kepada orang tua, hal itu menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua memang memiliki tingkat urgensi yang demikian tinggi, dalam Islam. Kewajiban itu demikian ditekankan, sampai-sampai Allah menggandengkannya dengan kewajiban menyempurnakan ibadah kepada-Nya.
Urgensi Berbakti kepada Dua orang Tua
Ada setumpuk bukti, bahwa berbakti kepada kedua orang tua –dalam wacana Islam- adalah persoalan utama, dalam jejeran hukum-hukum yang terkait dengan berbuat baik terhadap sesama manusia. Allah sudah cukup mengentalkan wacana ‘berbakti’ itu, dalam banyak firman-Nya, demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dalam banyak sabdanya, dengan memberikan ‘bingkai-bingkai’ khusus, agar dapat diperhatikan secara lebih saksama. Di antara tumpukan bukti tersebut adalah sebagai berikut:
1. Allah ‘menggandengkan’ antara perintah untuk beribadah kepada-Nya, dengan perintah berbuat baik kepada orang tua:
Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
2. Allah memerintahkan setiap muslim untuk berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun mereka kafir:
Kalau mereka berupaya mengajakmu berbuat kemusyrikan yang jelas-jelas tidak ada pengetahuanmu tentang hal itu, jangan turuti; namun perlakukanlah keduanya secara baik di dunia ini.” (Luqmaan : 15)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat di atas menunjukkan diharuskannya memelihara hubungan baik dengan orang tua, meskipun dia kafir. Yakni dengan memberikan apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak membutuhkan harta, bisa dengan cara mengajak mereka masuk Islam..[1]
3. Berbakti kepada kedua orang tua adalah jihad.
Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
4. Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Surga.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang Sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim)
Beliau juga pernah bersabda:
Orang tua adalah ‘pintu pertengahan’ menuju Surga. Bila engkau mau, silakan engkau pelihara. Bila tidak mau, silakan untuk tidak memperdulikannya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan shahih, oleh Al-Albani.) Menurut para ulama, arti ‘pintu pertengahan’, yakni pintu terbaik.
5. Keridhaan Allah, berada di balik keridhaan orang tua.
Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah, bergantung pada kemurkaan kedua orang tua[2].”
6. Berbakti kepada kedua orang tua membantu meraih pengampunan dosa.
Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sambil mengadu, “Wahai Rasulullah! Aku telah melakukan sebuah perbuatan dosa.” Beliau bertanya, “Engkau masih mempunyai seorang ibu?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” “Bibi?” Tanya Rasulullah lagi. “Masih.” Jawabnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Kalau begitu, berbuat baiklah kepadanya.
Dalam pengertian yang ‘lebih kuat’, riwayat ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu, dapat membantu proses taubat dan pengampunan dosa. Mengingat, bakti kepada orang tua adalah amal ibadah yang paling utama.
7. Berbakti kepada orang tua, membantu menolak musibah.
Hal itu dapat dipahami melalui kisah ‘tiga orang’ yang terkurung dalam sebuah gua. Masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebutkan satu amalan yang dianggapnya terbaik dalam hidupnya, agar menjadi wasilah (sarana) terkabulnya doa. Salah seorang di antara mereka bertiga, mengisahkan tentang salah satu perbuatan baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang akhirnya, menyebabkan pintu gua terkuak, batu yang menutupi pintunya bergeser, sehingga mereka bisa keluar dari gua tersebut. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
8. Berbakti kepada orang tua, dapat memperluas rezki.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin rezkinya diperluas, dan agar usianya diperpanjang (dipenuhi berkah), hendaknya ia menjaga tali silaturahim.” (Al-Bukhari dan Muslim)
Berbakti kepada kedua orang tua adalah bentuk aplikasi silaturahim yang paling afdhal yang bisa dilakukan seorang muslim, karena keduanya adalah orang terdekat dengan kehidupannya.
9. Doa orang tua selalu lebih mustajab.
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ada tiga bentuk doa yang amat mustajab, tidak diragukan lagi: Doa orang tua untuk anaknya, doa seorang musafir dan orang yang yang terzhalimi.
10. Harta anak adalah milik orang tuanya.
Saat ada seorang anak mengadu kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah! Ayahku telah merampas hartaku.” Rasulullah bersabda, “Engkau dan juga hartamu, kesemuanya adalah milik ayahmu[3].”
11. Jasa orang tua, tidak mungkin terbalas.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Seorang anak tidak akan bisa membalas budi baik ayahnya, kecuali bila ia mendapatkan ayahnya sebagai budak, lalu dia merdekakan.” (Dikeluarkan oleh Muslim)
12. Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar.
Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahukan dosa besar yang terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mau, wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil bersandar, beliau bersabda lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..” Beliau terus meneruskan mengulang sabdanya itu, sampai kami (para Sahabat) berharap beliau segera terdiam. (Al-Bukhari dan Muslim)
13. Orang yang durhaka terhadap orang tua, akan mendapatkan balasan ‘cepat’ di dunia, selain ancaman siksa di akhirat[4].
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ada dua bentuk perbuatan dosa yang pasti mendapatkan hukuman awal di dunia: Memberontak terhadap pemerintahan Islam yang sah, dan durhaka terhadab orang tua[5].”
Alhamdulillah. Kesemua bukti tersebut –dan masih banyak lagi bukti-bukti ilmiah lainnya, termasuk konsensus umat Islam terhadap urgensi berbakti kepada orang tua yang sama sekali tidak boleh terabaikan–, kesemuanya, menunjukkan betapa bakti kepada orang tua adalah kebajikan maha penting, bahkan yang terpenting dari sekian banyak perbuatan baik yang diperuntukkan terhadap sesama makhluk ciptaan Allah. Sedemikian pentingnya, hingga riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang adab, prilaku dan sikap seorang anak terhadap orang tuanya, bertaburan dalam banyak hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, bahkan juga dalam beberapa ayat Al-Qur’an.
Memuliakan Orang Tua
Pemuliaan Islam terhadap sosok orang tua, amat lugas. Wujud pemuliaan itu sudah beberapa langkah mendahului gemuruh propaganda sejenis, yang baru-baru saja muncul belakangan ini, dari kalangan Barat. Sebut saja contohnya: jaminan untuk kaum manula, perhatian terhadap kaum jompo dan lain sebagainya. Kenapa demikian? Karena Islam sudah jauh-jauh hari langsung menghadirkan ‘perintah tegas’ bagi seorang mukmin, untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
Telah kami pesankan seorang manusia untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (Al-Ahqaaf : 15)
Ibnu Katsier menjelaskan, “Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, sekaligus juga melimpahkan kasih sayang kita kepada mereka[6].”
Beribadahlah kepada Allah, jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisaa : 36)
Perintah itu, bahkan diseiringkan dengan perintah untukmengesakan Allah sebagai kewajiban utama seorang mukmin. Sehingga amatlah jelas, perintah itu mengandung ‘tekanan’ yang demikian kuat.
Sekarang, bandingkanlah substansi ajaran Islam itu dengan realitas yang berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia sekarang ini. Banyak anak yang enggan menyisihkan sebagian waktunya, mengucurkan keringat atau sekadar berlelah-lelah sedikit, untuk merawat orang tuanya yang sudah ‘uzur’. Terutama sekali, bila anak tersebut sudah berkedudukan tinggi, sangat sibuk dan punya segudang aktivitas. Akhirnya, ia merasa sudah berbuat segalanya dengan mengeluarkan biaya secukupnya, lalu memasukkan si orang tua ke panti jompo!!
Berbuat Baik Kepada Orang Tua
..dan hendaklah kalian berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
Berbuat baik dalam katagori umum, dalam bahasa Arabnya disebut ihsaan. Sementara bila ditujukan secara khusus kepada orang tua, lebih dikenal dengan istilah birr. Dalam segala bentuk hubungan interaktif, Islam sangatlah menganjurkan ihsan atau kebaikan.
“Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan, untuk dilakukan dalam segala hal. Bila kalian membunuh, lakukanlah dengan cara yang baik. Bila kalian menyembelih hewan, lakukanlah dengan cara baik. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim menyiapkan pisau yang tajam, dan upayakan agar hewan sembelihan itu merasa lebih nyaman[7].”
Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan, “Allah berpesan agar setiap orang melakukan bakti kepada orang tua dengan berbagai bentuk perbuatan baik. Namun kepada selain orang tua, Allah hanya memesankan ’sebagian’ bentuk kebaikan itu saja. “Katakanlah yang baik, kepada manusia.” (Al-Baqarah : 83)
Orang tua adalah manusia yang paling berhak mendapatkan danmerasakan ‘budi baik’ seorang anak, dan lebih pantas diperlakukan secara baik oleh si anak, ketimbang orang lain. Ada beragam cara yang bisa dilakukan seorang muslim, untuk ‘mengejawantahkan’ perbuatan baiknya kepada kedua orang tuanya secara optimal. Beberapa hal berikut, adalah langkah-langkah dan tindakan praktis yang memang sudah ’seharusnya’ kita lakukan, bila kita ingin disebut ‘telah berbuat baik’ kepada orang tua:
1. Bersikaplah secara baik, pergauli mereka dengan cara yang baik pula, yakni dalam berkata-kata, berbuat, memberi sesuatu, meminta sesuatu atau melarang orang tua melakukan suatu hal tertentu.
2. Jangan mengungkapkan kekecewaan atau kekesalan, meski hanya sekadar dengan ucapan ‘uh’. Sebaliknya, bersikaplah rendah hati, dan jangan angkuh.
3. Jangan bersuara lebih keras dari suara mereka, jangan memutus pembicaraan mereka, jangan berhohong saat beraduargumentasi dengan mereka, jangan pula mengejutkan mereka saat sedang tidur, selain itu,jangan sekali-kali meremehkan mereka.
4. Berterima kasih atau bersyukurlah kepada keduanya, utamakan keridhaan keduanya, dibandingkan keridhaan kita diri sendiri, keridhaan istri atau anak-anak kita.
5. Lakukanlah perbuatan baik terhadap mereka, dahulukan kepentingan mereka dan berusahalah ‘memaksa diri’ untuk mencari keridhaan mereka.
6. Rawatlah mereka bila sudah tua, bersikaplah lemahlembut dan berupayalah membuat mereka berbahagia, menjaga mereka dari hal-hal yang buruk, serta menyuguhkan hal-hal yang mereka sukai.
7. Berikanlah nafkah kepada mereka, bila memang dibutuhkan. Allah berfirman:
Dan apabila kalian menafkahkan harta, yang paling berhak menerimanya adalah orang tua, lalu karib kerabat yang terdekat.” (Al-Baqarah : 215)
8. Mintalah ijin kepada keduanya, bila hendak bepergian, termasuk untuk melaksanakan haji, kalau bukan haji wajib, demikian juga untuk berjihad, bila hukumnya fardhu kifayah.
9. Mendoakan mereka, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:
Dan ucapanlah, “Ya Rabbi, berikanlah kasih sayang kepada mereka berdua, sebagaimana menyayangiku di masa kecil.” (Al-Isra : 24)[8]
Semua hal di atas bukanlah ’segalanya’ dalam upaya berbuat baik terhadap orang tua. Kita teramat sadar, bahwa ‘hak-hak’ orang tua, jauh lebih besar dari kemampuan kita membalas kebaikan mereka. Mungkin lebih baik kita tidak usah terlalu berbangga diri, kalaupun segala hal diatas telah dapat kita wujudkan dalam kehidupan nyata. Karena orang tua adalah manusia yang pertama kali berbuat baik kepada kita, karena dorongan kasih sayang dan –terlebih-lebih– penghambaan dirinya kepada Allah. Sementara kita hanya memberi balasan, setelah terlebih dahulu kita menerima kebaikan dari mereka. Sehingga, bagaimanapun, nilainya jelas akan berbeda.
Arti Birrul Waalidain
Perlu ditegaskan kembali, bahwa birrul waalidain (berbakti kepada kedua orang tua), lebih dari sekadar berbuat ihsan (baik) kepada keduanya. Namun birrul walidain memiliki nilai-nilai tambah yang semakin ‘melejitkan’ makna kebaikan tersebut, sehingga menjadi sebuah ‘bakti’. Dan sekali lagi, bakti itu sendiripun bukanlah balasan yang setara yang dapat mengimbangi kebaikan orang tua. Namun setidaknya, sudah dapat menggolongkan pelakunya sebagai orang yang bersyukur.
Imam An-Nawaawi menjelaskan, “Arti birrul waalidain yaitu berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap baik kepada keduanya, melakukan berbagai hal yang dapat membuat mereka bergembira, serta berbuat baik kepada teman-teman mereka.”
Al-Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa birrul waalidain atau bakti kepada orang tua, hanya dapat direalisasikan dengan memenuhi tidak bentuk kewajiban:
Pertama: Menaati segala perintah orang tua, kecuali dalam maksiat.
Kedua: Menjaga amanah harta yang dititipkan orang tua, atau diberikan oleh orang tua.
Ketiga: Membantu atau menolong orang tua, bila mereka membutuhkan.
Bila salah satu dari ketiga kriteria itu terabaikan, niscaya seseorang belum layak disebut telah berbakti kepada orang tuanya.
Karena berbakti kepada kedua orang tua lebih merupakan perjanjian, antara sikap kita dengan keyakinan kita. Kita tahu, bahwa menaati perintah orang tua adalah wajib, selama bukan untuk maksiat. Bahkan perintah melakukan yang mubah, bila itu keluar dari mulut orang tua, berubah menjadi wajib hukumnya. Kita juga tahu, bahwa harta orang tua harus dijaga, tidak boleh dihamburkan secara percuma, atau bahkan untuk berbuat maksiat. Kita juga meyakini, bahwa bila orang tua kita kekurangan atau membutuhkan pertolongan, kitalah orang pertama yang wajib menolong mereka. Namun itu hanya sebatas keyakinan. Bila tidak ada ‘ikatan janji’ dengan sikap kita, semua itu hanya terwujud dalam bentuk wacana saja, tidak bisa terbentuk menjadi ‘bakti’ terhadap orang tua. Oleh sebab itu, Allah menyebut kewajiban bakti itu sebagai ‘ketetapan’, bukan sekadar ‘perintah’. “Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
Jangan Mendurhakainya!
Mendurhakai orang tua adalah dosa besar. Dan berbuat durhaka terhadap ibu adalah dosa yang jauh lebih besar lagi. Melalui pelbagai penjelasan Islam tentang ‘kewajiban kita’ terhadap sang ibunda, kita dapat menyadari bahwa berbuat durhaka terhadapnya adalah sebuah tindakan paling memalukan yang dilakukan seorang anak berakal.
Imam An-Nawawi menjelaskan, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan keharusan berbuat baik kepada ibu sebanyak tiga kali, baru pada kali yang keempat untuk sang ayah, karena kebanyakan sikap durhaka dilakukan seorang anak, justru terhadap ibunya[9].”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan sikap durhaka terhadap ibu danmelarang mengabaikan orang yang hendak berhutang. Allah juga melarang menyebar kabar burung, terlalu banyak bertanya dan membuang-buang harta[10].”
Ibnu Hajar memberi penjelasan sebagai berikut, “Dalam hadits ini disebutkan ’sikap durhaka’ terhadap ibu, karena perbuatan itu lebih mudah dilakukan terhadap seorang ibu. Sebab, ibu adalah wanita yang lemah. Selain itu, hadits ini juga memberi penekanan, bahwa berbuat baik kepada itu harus lebih didahulukan daripada berbuat baik kepada seorang ayah, baik itu melalui tutur kata yang lembut, atau limpahan cinta kasih yang mendalam[11].”
Sementara, Imam Nawawi menjelaskan, “Di sini, disebutkan kata ‘durhaka’ terhadap ibu, karena kemuliaannya yang melebihi kemuliaan seorang ayah[12].”
Kapan seseorang disebut durhaka? Imam Ash-Shan’aani menjelaskan, “Imam Al-Bulqaini menerangkan bahwa arti kata durhaka yaitu: apabila seseorang melakukan sesuatu yang tidak remeh menurut kebiasaan, yang menyakiti orang tuanya atau salah satu dari keduanya. Dengan demikian, berdasarkan definisi itu, bila seorang anak tidak mematuhi perintah atau larangan dalam urusan yang sangat sepele yang menurut hukum kebiasaan itu tidak dianggap ‘durhaka’, maka itu bukan termasuk kategori perbuatan durhaka yang diharamkan. Namun bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap larangan orang tua dengan melakukan perbuatan dosa kecil, maka yang dilakukannya menjadi dosa besar, karena kehormatan larangan orang tua. Demikian juga, disebut durhaka, bila seorang anak melanggar larangan orang tua yang bertujuan menyelamatkan si anak dari kesulitan[13].”
Ibnu Hajar Al-Haitsami menjelaskan, “Kalau seseorang melakukan perbuatan yang kurang adab dalam pandangan umum, yang menyinggung orang tuanya, maka ia telah melakukan dosa besar, meskipun bila dilakukan terhadap selain orang tua, tidaklah dosa. Seperti memberikan sesuatu dengan dilempar, atau saat orang tuanya menemuinya di tengah orang ramai, ia tidak segera menyambutnya, dan berbagai tindakan lain yang di kalangan orang berakal dianggap ‘kurang ajar’, dapat sangat menyinggung perasaan orang tua[14].”
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan, “Arti durhaka kepada orang tua yaitu melakukan perbuatan yang menyebabkan orang tua terganggu atau terusik, baik dalam bentuk ucapan ataupun amalan..[15]
Imam Al-Ghazali menjelaskan, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa taat kepada orang tua wajib, termasuk dalam hal-hal yang masih syubhat, namun tidak boleh dilakukan dalam hal-hal haram. Bahkan, seandainya keduanya merasa tidak nyaman bila makan sendirian, kita harus makan bersamamereka. Kenapa demikian? Karena menghindari syubhat termasuk perbuatanwara’ yang bersifat keutamaan, sementara mentaati kedua orang tua adalah wajib. Seorang anak juga haram bepergian untuk tujuan mubah ataupun sunnah, kecuali dengan ijin kedua orang tua. Melakukan haji secepat-cepatnya bahkan menjadi sunnah, bila orang tua tidak menghendaki. Karena melaksanakan haji bisa ditunda, dan perintah orang tua tidak bisa ditunda. Pergi untuk menuntut ilmu juga hanya menjadi anjuran, bila orang tua membutuhkan kita, kecuali, untuk mempelajari hal-hal yang wajib, seperti shalat dan puasa, sementara di daerah kita tidak ada orang yang mampu mengajarkannya..[16]
Seringkali seorang anak membela diri saat dikecam sebagai anak yang durhaka terhadap ibunya, dengan pelbagai alasan yang dibuat-buat, atau sekadar mengalihkan perhatian kepada soal lain. ‘Seharusnya kan orang tua itu lebih tahu,’ ‘Seharusnya seorang ibu mengerti perasaan anak,’ ‘Seharusnya seorang ibu itu lebih bijaksana daripada anaknya,’ ‘Seharusnya seorang ibu tidak boleh memaksakan kehendak,’ dan berbagai alasan kosong lainnya. Yah, taruhlah, dalam suatu kasus, si ibu memang melakukan kesalahan, dengan memaksakan kehendaknya, atau bersikap kurang bijaksana. Namun saat si anak membantah perintah atau larangan ibunya, apalagi dia mengerti bahwa yang dikehendaki oleh ibunya itu adalah baik, meski kurang tepat, tidak pelak lagi, si anak telah berbuat durhaka. Di sinilah seharusnya ‘kunci kesabaran’ dan tingkat ‘kesadaran’ terhadap syariat Allah, juga penghormatan terhadap orang tua, dapat menggeret seseorang mengambil jalan mengalah, meskipun ia harus mengorbankan banyak hal, termasuk harta, dan juga cita-citanya. Selama hal itu dapat membahagiakan sang ibu, seharusnya ia berusaha untuk memenuhi kehendaknya.
Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsan menegaskan, “Apabila kita sudah menyadari betapa besar hak seorang ibu terhadap anaknya, dan betapa besar dosa perbuatan durhaka terhadapnya, atau dosa sekadar lalai memperhatikannya,cobalah, segera berbakti kepadanya, maafkan segala kekeliruannya di masa lampau, berusaha dan berusahalah untuk selalu menjalin hubungan baik dengannya. Berusahalah untuk menyenangkannya, dan dahulukan upaya memperhatikannya daripada segala hal yang kita sukai. Berupayalah untuk memenuhi kebutuhannya selekas mungkin, jangan sampai menyusahkannya. Ingatlah firman Allah:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al-Israa : 24)
Ketika orang tua telah berusia senja.
Pada saatnya, usia juga yang membatasi kepawaian seorang ibu mengasuh anaknya. Kasih ibu, memang tak dapat dihentikan sang waktu. Namun sebagai manusia, kekuatannya tidak pernah abadi. Akhirnya, sang ibu harus melalui juga masa-masa yang belum pernah dibayangkan selama ini. Kulitnya mulai keriput, tenaganya mulai jauh berkurang, tulang-tulangnyapun mulai terasa rapuh, suaranya berubah menjadi sengau, tak mampu menyetabilkan nada yang keluar. Saat itulah, ia mulai sangat membutuhkan belaian kasih sang anak. Ia mulai memerlukan adanya orang lain di sisinya, untuk menyelesaikan segala hal, termasuk pekerjaan-pekerjaan ringan sekalipun, yang selama ini bisa dia selesaikan seorang diri. Saat itulah, bakti seorang anak menjadi suatu hal yang teramat dibutuhkan:
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:”Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (Al-Isra : 23-24)
Saat usia semakin tua, bisa jadi kepekaan seorang ibu bertambah. Ia lebih mudah tersinggung, lebih mudah melampiaskan amarahnya, lebih mudah tersentuh hatinya hanya oleh kata-kata atau ucapan, yang bila itu diucapkan seorang anak di waktu mudanya, tidak akan diperdulikan sama sekali. Oleh sebab itu, Al-Qur’an memberikan bimbingan yang demikian santun, agar seorang anak membiasakan diri berbicara dan bersikap secara mulai, santun dan terpuji, terhadap kedua orang tuanya, terutama sekali ibunya.
Suatu hari, Rasulullah naik ke atas mimbar, lalu beliau berkata: “Amin, amin, amin.” Kontan, seorang Sahabat bertanya: “Kenapa engkau mengucapkan amin, amin dan amin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tadi datang Jibril menemuiku, lalu ia berkata: “Barangsiapa yang menjumpai bulan Ramadhan, lalu ia tidak mendapatkan ampunan Allah, maka ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.’ Lalu Jibril berkata lagi: “Barangsiapa yang mendapatkan salah seorang dari kedua orang tuanya, atau keduanya, pada saat mereka sudah berusia lanjut, namun ia tidak berkesempatan berbakti kepada mereka, maka ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.’ Lalu Jibril berkata lagi: “Barangsiapa yang mendengar namaku (Nabi Muhammad) disebutkan, lalu ia tidak membaca shalawat untukku, maka bila ia mati, ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.[17]
Saat Ibunda Telah Wafat
Ada beberapa wujud manefestasi cinta kasih kepada sang bunda, yang masih dapat kita lakukan saat sang bunda sudah terlebih dahulu meninggalkan dunia ini. Semua bentuk implementasi cinta kasih itu pada dasarnya lebih bersifat tugas dan kewajiban kita. Dengan atau tanpa muatan cinta kasih, semua tugas itu harus kita pikul. Namun adalah kenistaan, bila kita melaksanakan semuanya tanpa landasan cinta kepadanya. Berikut ini, penulis paparkan beberapa di antaranya:
Pertama: Melaksanakan perjanjian dan pesan sang bunda.
Diriwayatkan dari Syaried bin Suwaid Ats-Tsaqafi, bahwa ia menuturkan, “Wahai Rasulullah! Ibuku pernah berpesan kepadaku untuk memerdekakan seorang budak wanita yang beriman. Aku memiliki seorang budah wanita berkulit hitam. Apakah aku harus memerdekakannya?” “Panggil dia.” Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Saat wanita itu datang, beliau bertanya, “Siapa Rabbmu?” Budak wanita itu menjawab, “Allah.” “Lalu, siapa aku?” Tanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lagi. Wanita itu menjawab, “Engkau adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliaupun bersabda, “Merdekakan dia. Karena dia adalah wanita mukminah[18].”
Kedua: Mendoakan sang ibu, membacakah shalawat dan memohonkan ampunan baginya.
Ibnu Rabi’ah meriwayatkan: Saat kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam! Apakah masih tersisa bakti kepada kedua orang tuaku setelah mereka meninggal dunia?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Ya. Bacakanlah shalat untuk mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, tunaikan perjanjian mereka, peliharalah silaturahim yang biasa dipelihara kala mereka masih hidup, juga, hormati teman-teman mereka[19].”
Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla bisa saja mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di Surga kelak. Si hamba itu akan bertanya, “Ya Rabbi, bagaimana aku bisa mendapatkan derajat sehebat ini?” Allah berfirman, “Karena permohonan ampun dari anakmu[20].”
Salah satu dari tanda cinta kasih kita kepada ibu adalah munculnya pengharapan agar si ibu selalu hidup berbahagia. Bila ia sudah meninggal dunia, kita juga senantiasa mendoakannya, membacakan shalat untuknya serta memohonkan ampunan untuknya. Semua perbuatan tersebut bukanlah hal-hal yang remeh. Dan juga, amat jarang anak yang mampu secara telaten melakukan semua kebajikan tersebut. Padahal, ditinjau dari segi kelayakan, dan segi kesempatan serta kemampuan, sudah seyogyanya setiap anak berusaha melakukannya. Dari kwantitas, semua amalan tersebut tidak membutuhkan banyak waktu. Sekadar perhatian dan kesadaran, yang memang sangat dituntut. Bila seorang anak merasa sangat kurang berbakti kepada kedua orang tuanya, inilah kesempatan yang masih terbuka lebar, untuk menutupi kekurangan tersebut, selama hayat masih dikandung badan.
Ketiga: Memelihara hubungan baik, dengan teman dan kerabat ibu.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang tetap ingin menjaga hubungan silaturahim dengan ayahnya yang sudah wafat, hendaknya ia menjaga hubungan baik dengan teman-teman ayahnya yang masih hidup[21].”
Keempat: Melaksanakan beberapa ibadah untuk kebaikan sang ibu.
Sa’ad bin Ubadah pernah bertanya, “Ibuku sudah meninggal dunia. Sedekah apa yang terbaik, yang bisa kulakukan untuknya?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Air. Gali saja sumur. Lalu katakan: ‘pahala penggunaan sumur ini, untuk ibu Saad[22].”
Demikianlah sekilas tentang hubungan dengan ibu yang menjadi salah satu dari kedua orang tua, sengaja dibatasi pembahasan ini hanya seputar ibu, agar lebih singkat. Mudah-mudahan bermanfaat.
Artikel: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Ditulis kembali : Maulana Saifudin S.S